Selasa, 30 Juli 2013
Siaran, Sarana Galang Dana Swadaya
“Bu, saya berangkat siaran dulu ya, doain mudah-mudahan dapat sumbangan banyak pagi ini, supaya bisa secepatnya membangun rumah Ibu Mawar,” kata Suhandi kepada istrinya, pada Sabtu pagi, 1 Mei 2010.
Pagi cerah, sekitar pukul 09 itu, Suhandi (60 tahun) memulai tugas perdananya untuk siaran di lokasi pertigaan jalan RT 005/03 Desa Susukan, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bermodalkan sound system sederhana pinjaman dari Musala Hidayatullah, dia pun mulai berhalo-halo.
“Bapak, ibu warga RW 03, RW 04 dan sekitarnya yang saya hormati, marilah kita bersama-sama membantu pembangunan rumah Ibu Mawar. Sumbangan yang bapak-ibu berikan amat membantu. Ayo mari kita berlomba berbuat kebajikan. Semoga amal bapak ibu mendapat balasan dari Allah, SWT. Amiin,” seru Suhendi berulang-ulang.
Suara lantang Suhendi yang bergema ke seluruh pelosok desa cukup menarik perhatian warga sekitarnya. Mereka mulai keluar rumah guna menonton dan mencari informasi. Ada pula yang berdatangan dan memasukan sumbangan ke dalam kardus yang memang sudah disiapkan sebelumnya.
Cara unik yang biasa dilakukan oleh warga Kecamatan Bojong Gede ini, antara lain diperuntukkan bagi pembangunan mesjid dan rehab/pembangunan jalan desa. Saat ini warga RT 005/03 Desa Susukan melakukannya untuk rehab total bagi rumah tidak layak huni milik seorang warga miskin.
Melalui musyawarah warga setempat sepakat memutuskan secepatnya merehab rumah salah seorang warganya yang sudah amat memprihatinkan kondisinya itu. Kemudian dibentuk suatu kepanitiaan yang diketuai H.Kartim, Sekretaris Ojeg Guru, Sukatma sebagai bendahara, Suhendi sebagai pelaksana pekerjaan, serta Ketua KSM Lingkungan Manunggal Sejati sekaligus Ketua RT 005/03 sebagai penanggungjawabnya.
Rumah reyot berdinding bilik ini dihuni janda miskin bernama Mawar (58 tahun) dan dua anak dan dua cucunya. Sementara, dua anak lainnya mengontrak rumah dan ikut mertuanya. Suami Mawar, Zaelani wafat pada tahun 2007 dalam usia 50 tahun, meninggalkan empat orang anak yang sudah dewasa. Anak-anak mereka sudah bekerja, antara lain sebagai pembantu rumah tangga. Ada pula yang bekerja sebagai tenaga cleaning service.
“Rumah ini dibangun suami saya pada tahun 1982, jadi sudah 18 tahun yang lalu dan belum pernah direhab. Sejak lama kami merasakan kecemasan di saat hujan dan angin datang. Dinding bilik bergoyang, genting berjatuhan, balok atas pun patah. Disaat seperti itu, kami terpaksa mengungsi, karena takut tertimpa bangunan. Secara darurat seringkali tetangga sekitar membantu memperbaiki yang rusak,” keluh Mawar.
Menurut dia, sejak beberapa tahun terakhir, dia bersama-sama anak-anaknya menabung guna memperbaiki bangunan rumah, dan kini sudah terkumpul Rp4,5 juta. “Bila tidak ada bantuan dari warga, entah sampai kapan kami baru bisa perbaikan rumah. Kami amat terharu, senang, serta amat berterima kasih atas inisiatif tetangga, semoga amal baik yang diberikan mendapat balasan dari-Nya. Amin,” tutur Mawar.
Berdasarkan informasi dari Ketua KSM Manunggal Sejati Slamet (40 tahun), rumah seluas 54 meter milik Mawar adalah tanah warisan dari orangtuanya, hasil penetapan hibah tahun 2009. “Sebenarnya sudah lama kami terketuk hati untuk mebantu perbaikan rumahnya, namun saat itu belum ada kepastian tentang status kepemilikan. Nah, setelah Ibu Mawar mendapat hibahnya, barulah kami bergerak. Kepala desa juga sudah mendukung,” ujar Slamet.
Menurutnya modal awal rehab total ini sebesar Rp5,5 juta. Rp1 juta dari donatur, dan Rp4,5 juta dari tabungan pemilik rumah sendiri. “Diperkirakan total biaya rumah ini mencapai Rp21,6 juta. Diharapkan, sumbangan warga dan hasil proposal yang diedarkan warga ke tempat kerjanya masing-masing bisa mencukupi. Saat ini pekerjaan sudah dimulai dengan pembangunan pondasi, dan dikerjakan oleh dua tukang dari warga setempat,” jelas Slamet.
Tentang tukang, kata Suhendi, sifatnya sebagai relawan. “Mereka tidak dibayar seperti tukang profesional, melainkan seadanya. Berkisar Rp20-30 ribu per hari, bahkan kadang mereka sumbangkan kembali untuk membeli material. Sedangkan dari hasil siaran dan peredaran proposal, kami lakukan secara transparan agar tidak ada kecurigaan di antara kami,” tegas tokoh masyarakat yang berkiprah di desa itu sejak tahun 1970.
Lebih jauh, Suhendi dan Slamet menjelaskan, di tahun 2005 warga setempat berhasil merehab rumah warga miskin lainnya, yaitu rumah Ibu Wasidah. “Saat itu terkumpul sumbangan sebesar Rp23 juta hanya dalam kurun tiga minggu. Karena itu kami sangat optimis untuk rehab rumah Ibu Mawar. Swadaya untuk berbagai macam kegiatan sosial sudah sering kami lakukan, dan Alhamdulillah semuanya berhasil,” ujar keduanya.
Masih soal swadaya masyarakat, menurut Suhendi dan Slamet, pada awal Januari 2010, saat masyarakat membangun jalan beton setapak di wilayah RW 03 dan 04, swadaya yang terserap hampir 100%.
“BLM yang kami terima sebesar Rp17.999.000, sedangkan swadaya nya sebesar Rp14.300.000.
Keberhasilan swadaya ini sudah terbangun sejak lama, ikatan sosial antarmasyarakat telah terbangun. Oleh karena itu, kaitannya dengan rehab total untuk rumah Ibu Mawar, kami tiada keraguan. Optimis insya Allah akan berhasil. Mohon doanya,” ujar mereka. (heroe k., PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina).
http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=2968&catid=3&
Kamis, 25 Juli 2013
Sampah, Recehan yang Berserakan dan Terabaikan
Persoalan limbah hingga kini menjadi problem yang tiada henti dibicarakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk di sembilan desa sasaran PNPM Mandiri Perkotaan dampingan Faskel Tim 11 Kabupaten Bogor. Betapa tidak, pada PJM Pronangkis sembilan desa se-Kecamatan Bojong Gede, penanggulangan sampah menjadi salah satu prioritas programnya. Mereka semua sepakat menjadikan sampah sebagai komoditi yang bisa bermanfaat dan memiliki nilai tambah bagi masyarakat.
Seperti yang baru-baru ini dilakukan BKM Paguyuban Warga Desa (PWD) Pabuaran, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. BKM setempat menggandeng Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Bogor, melaksanakan Pelatihan Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat, pada Minggu (11/4/2010).
Menurut Koordinator BKM PWD Pabuaran Uche Ismail, pelatihan yang menghabiskan dana sekitar Rp2,5 juta itu berasal dari dana PNPM sebesar Rp 1,5 juta, ditambah swadaya sekitar Rp1 juta.
Uche mengatakan, sudah lama masyarakat Pabuaran merasakan limbah sampah sebagai masalah. “Setiap hari ada saja tumpukan sampah. Hal itu menimbulkan bau dan penyakit. Kami menyadari bahwa ternyata sampah bisa tidak menjadi ancaman, bahkan bisa memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu, akhirnya muncul keinginan dan kebutuhan bersama untuk mengolah sampah dengan mengadakan pelatihan ini. Ke depannya, diharapkan masyarakat desa Pabuaran mampu mengatasi limbah sampah,” tegasnya.
Kegiatan tersebut mampu menyerap kehadiran peserta mencapai 100 orang. Mereka terdiri atas berbagai lapisan masyarakat, serta anggota BKM dan KSM. Sebagai tenaga pelatih adalah Fasilitator DKP Kabupaten Bogor, di bawah koordinasi Mamad Suhaeri, yang juga Kepala Seksi Kebersihan DKP.
Pada kesempatan itu Mamad mengatakan, jumlah penduduk kabupaten Bogor saat ini sekitar 4 juta jiwa. “Setiap harinya, aktivitas masyarakat menghasilkan limbah sampah sebanyak 8.000 meter kubik, yang dilayani oleh 66 truk sampah. Sementara itu, dari hasil survey, sebanyak 50% limbah sampah berasal dari rumah tangga, sedangkan sisanya, rata-rata 15%-nya berasal dari pasar, jalanan, industri, pekantoran, sungai dan lain sebagainya,” kata Mamad.
Dengan adanya kegiatan yang disponsori BKM ini, lanjut Mamad, pihaknya amat merasa terbantu dalam penanggulangan limbah sampah di wilayahnya. “Ke depannya diharapkan, volume sampah yang akan dikirim ke TPA berkurang, setelah sampah rumah tangga diolah sendiri guna dijadikan pupuk dan kerajinan tangan. Peran masyarakat bersama-sama pemda dalam upaya penanggulangan sampah ini sangat kami hargai,” ujar Mamad.
Pada materi “Sampah dan Permasalahannya”, Koordinator Fasilitator DKP Edi Mawardi menyatakan kekagumannya atas inisiatif masyarakat Pabuaran melaksanakan pelatihan. “Kita harus mengubah pola pikir yang selama ini salah, yakni menjadikan sampah sebagai lawan. Jadikan sampah sebagai kawan! Karena, sebenarnya sampah adalah tumpukan recehan rupiah! Sampah organik bisa dijadikan pupuk, sedangkan sampah anorganik, bisa dijadikan bahan kerajinan tangan dan memilki nilai ekonomi yang cukup tinggi,” tegas dia.
Menurut Edi, pada pelatihan ini, Pihak DKP menurunkan lima orang tenaga fasilitator sebagai instruktur. “Mereka adalah tenaga muda yang memiliki potensi dan komitmen tinggi. Setiap saat mereka siap mendampingi masyarakat kabupaten Bogor, sesuai program dari DKP,” tambah Edi. Bagian akhir Pelatihan Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat ini adalah penanganan sampah dengan pola 3R—Reduce, Reuse dan Recycle. Dilakukan pula praktek bersama tentang cara pengolahan limbah organik, pengenalan peralatan pembuatan kompos, serta pengolahan limbah sampah anorganik menjadi kerajinan tangan. Acara ini dipandu oleh Fasilitator DKP antara lain Evi, Ajeng, Erni, dan Fauzi.
Setelah acara penutupan, salah seorang anggota BKM setempat Kamsi mengatakan, status BKM PWD Pabuaran adalah BKM Lanjutan 2009. “Desa kami menjadi sasaran P2KP sejak tahun 2003, dengan pagu BLM sebesar Rp350 juta. Alokasi dana bergulirnya sebesar Rp154 juta dan terjadi kemacetan pengembalian dari KSM. Hasil evaluasi kami, hal tersebut akibat dari kencangnya isu bahwa BLM adalah hibah, tidak diperbolehkannya jaminan peminjam, serta sanksi yang tidak kuat,” katanya.
Sulitnya mendapatkan data KSM ekonomi dari BKM lama, lanjut Kamsi, menyebabkan terhambatnya proses pengembalian pinjaman. “Kini kami berkomitmen untuk memproses masalah kemacetan dana bergulir yang lalu. BKM akan melibatkan seluruh komponen desa dalam menanganinya. Diketahui, dari klarifikasi sebelumnya ada beberapa klasifikasi penunggak, yaitu akibat usaha KSM yang macet, isu hibah, ketidakmampuan bayar, hingga mereka yang sengaja mencoba mengemplang,” ujar Kamsi. Menurutnya, hasil Review Kelembagaan pada tahun 2008, dua anggota BKM lama ikut terpilih dan duduk pada komposisi saat ini, sementara anggota lainnya adalah orang-orang baru.
Pada kesempatan itu, Kamsi juga menyampaikan perbandingan pengelolaan pinjaman bergulir dana Reksa Desa yang berasal dari Pemprov Jawa Barat dan dikelola oleh aparat desa. “Pada tahun 2006, kami mendapatkan dana sebesar Rp100 juta. Sekitar 40%-nya digunakan untuk kegiatan infrastruktur, sedangkan 60%-nya untuk kegiatan ekonomi berupa dana bergulir, dengan bunga 1,5%,” kata Kamsi.
Perguliran dana tersebut masih berjalan hingga saat ini, ujar dia. “Jumlah pemanfaat sampai dengan saat ini adalah 168 orang. Awalnya (2006), hanya 89 orang. Setiap bulannya, rata-rata pinjaman yang kami berikan adalah sebanyak Rp3 juta, dengan masing-masing peminjam maksimal Rp 1 juta. Pihak kami melibatkan RT/RW. Mereka mendapatkan fee, sehingga memiliki peran dan tanggung jawab besar bila terjadi kemacetan. Alhamdulillah dengan cara seperti ini dana bergulir Reksa Desa masih bisa bertahan, meski masih terjadi kemacetan sekitar 30%,” jelas Kamsi. (heroe k., PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)
http://p2kp.org/wartadetil.asp?mid=2938&catid=3&
Rabu, 17 Juli 2013
BKM Bojong Gede Ramai-Ramai Tanggulangi Sampah
Permasalahan
limbah sampah sudah menjadi problem bersama, baik di tingkat provinsi maupun
tingkatan kota/kabupaten, bahkan pada tingkatan desa/kelurahan. Terlalu banyak
masalah yang terjadi akibat limbah ini: penyakit, aroma bau menyengat, hingga
korban jiwa di beberapa Tempat Pembuangan Akhir (TPA), seperti yang baru-baru
ini terjadi di TPA Galuga Kabupaten Bogor.
Mereka sepakat limbah ini bisa bermanfaat bagi mereka, yakni dijadikan kompos dan pupuk cair pengganti pupuk anorganik. Kerjasama (channeling) dengan berbagai pihak telah dilakukan, seperti dengan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, dan kerjasamadengan Pihak Balitbang Departeman Pertanian.
Luasnya lahan pertanian di Desa Ragajaya, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor membuat petani setempat merasa pupuk organik menjadi harapan besar dalam menambah penghasilan, dibandingkan pemakaian pupuk anorganik. Oleh karena itu, saat dilakukan sosialisasi, penyuluhan, dan pelatihan pembuatan pupuk organik, petani sekitar merespon dengan baik.
Lebih dari 40 peserta mengikuti pelatihan ini, di mana 50 persen dari jumlah peserta adalah petani jambu biji, pisang, dan pepaya. Sebagian lainnya adalah anggota PKK, KSM, pengurus RT/RW, bahkan dihadiri pula oleh aparat desa. Instruktur pelatihan ini berasal dari Balitbang Departemen Pertanian, sedangkan panitianya dari KSM Anggrek BKM Purbaya Mandiri.
“Awalnya penggunaan pupuk anorganik terasa mampu meningkatkan produksi pertanian, namun harganya mahal. Tak hanya itu, saat ini baru dirasakan terjadinya kerusakan lahan akibat pupuk jenis itu, bahkan lambat-laun terjadi penurunan hasil pertanian,” tegas instruktur pelatihan Haryono, didampingi asistennya Erni.
Menurut Haryono, tanah adalah mahluk hidup dan bergerak. Untuk itu dibutuhkan kesimbangan dalam memperlakukannya. “Pupuk organik, sesuai hasil penelitian, mampu memperlakukan tanah dengan baik, sehingga akan mampu pula menangkal kerusakan tanah dan meningkatkan produksi dalam kurun waktu yang lama. Dengan cara sederhana dan murah, pupuk organik cair dan kompos dapat dibuat sendiri oleh petani,” kata dia. Gaya Haryono yang lugas dan humoris ini dinilai menarik bagi peserta.
Petani jambu biji dan pisang, Basyudin dan Ruhyatna, menceritakan pengalamannnya terkait penggunaan pupuk anorganik, yang selama ini dirasakan kurang menguntungkan. “Di samping harganya mahal, barangnya juga sulit didapat. Setelah dikurangi ongkos produksi, penjualan jambu amat sedikit keuntungannya. Apalagi harga jual juga dikendalikan oleh tengkulak,” keluh kedua petani ini.
Masing-masing Basyudin dan Ruhyatna mengaku memiliki tanah garapan seluas 5.000 meter, yang mereka tanami pohon pisang, jambu biji, serta sayuran sebagai tanaman tumpang-sarinya. “Baru sekali ini saya bisa ikut pelatihan semacam ini. Sebelumnya hanya dengar-dengar saja, tanpa bisa mengikutinya. PNPM sangat membantu kami, utamanya dalam pengadaan pelatihan ini. Karena itu, kami serius mengikuti, dengan harapan mampu membuat pupuk sendiri dan menambah pendapatan keluarga,” harap mereka.
Pada kesempatan yang sama, istri Kepala Desa Ragajaya Dwi Suyanti (38) mengatakan, selama ini kegiatan perempuan di desanya hanya berkisar PKK, yang meliputi kegiatan Posyandu, Dasa Wisma, Kesehatan, dan olah raga saja. “Dengan hadirnya PNPM ke desa kami terasa lebih banyak lagi kesempatan positif yang bisa dikerjakan oleh perempuan,” kata dia di sela-sela waktu istirahat pelatihan.
Awalnya dulu, lanjut Dwi, kegiatan-kegiatan kaum perempuan hanya terbatas sampai sebelum maghrib. “Namun saat-saat rembug PNPM pada tingkatn basis, kami bisa ikutan sampai dengan sehabis Isya. Ini menurut saya adalah sebuah kemajuan. Mereka (kaum perempuan) amat antusias. Tengok saja kegiatan pelatihan ini, sekitar 40 persennya adalah permpuan,” tegas ibu beranak tiga ini.
Ia juga berpendapat, pupuk organik/kompos bukan hanya kebutuhan petani semata, tapi juga untuk kegiatan ibu-ibu rumah tangga, sekaligus penghijauan tanaman hias. “Yang penting kita harus pandai membagi waktu, ngurus anak, kegiatan lingkungan, termasuk kegiatan pengajian sebagai bekal dunia-akhirat,” kata Dwi.
Dalam hal mendidik dan mengawasi kegiatan anak, perempuan hendaknya juga harus aktif. “Jangan sampai mereka terjerumus kegiatan negatif. Sedapatnya kita memperlakukan mereka sebagai adik atau kawan curhat, sehingga mereka bisa terbuka terhadap semua masalah. Kemudian dengan bijak serta penuh kasih kita sikapi. Anak saya laki-laki yang sudah di SMU, juga adik-adiknya, amat dekat dengan orang tua. Bahkan, saya sering menyambangi sekolahnya guna berdiskusi dengan para guru terkait kemajuan anak,” ujar Dwi.
Mengenai pelatihan pembuatan pupuk organik, dirinya mengaku menaruh harapan besar demi kesejahteraan petani dan warga. “Di sini kan banyak lahan tidur. Jadi, nanti, dengan seizin pemiliknya, kita akan tanami dengan tanaman yang sesuai dan memiliki nilai jual tinggi. Mudah-mudahan bisa menambah penghasilan keluarga, utamanya yang tidak mampu. Saya sebagai istri kepala desa, sangat mendukung kegiatan ini serta berupaya terus untuk meningkatkan peran perempuan,” tuturnya.
Sementara itu, Koordinator BKM Purbaya Mandiri Desa Ragajaya, Suminto. Ia menjelaskan, usulan prioritas tentang penanggulangan sampah ini dan dilanjutkan dengan pemanfaatan limbah sampah, sejalan dengan pemikirannya. Pensiunan PT Pertamina berusia 68 tahun ini sejak lama menggeluti cocok tanam dan perikanan. Rumah dan tanahnya yang luas memungkinkan untuk kegiatan sambilan ini. “Dua kegiatan ini adalah hobi saya, terlebih setelah pensiun. Semuanya serba kebetulan. Pertama atas terpilihnya saya sebagai koordinator BKM, kedua munculnya usulan kegiatan penanggulangan limbah sampah yang menjadi salah satu prioritas masyarakat, serta mendesaknya akibat limbah,” kata Suminto.
Ia mengaku tidak menduga akan terpilih sebagai anggota BKM, bahkan menjadi koordinatornya. “Saya hanya orang biasa, bukan tokoh. Mengikuti pemilihan ini sebagai utusan RT. Awalnya hanya ingin melihat kegiatan, eh ujung-ujungnya terpilih. Saya menyikapinya sebagai amanah, sebuah kepercayaan dari masyarkat yang harus saya pertanggungjawabkan. Oleh karena itu, saya berkomitmen untuk memikulnya demi mengangkat derajat warga yang tidak mampu, serta kesejahteraan warga pada umumnya,” tegas pria yang selama ini selalu didukung penuh istrinya itu.
(heroe k, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)
http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=2927&catid=3&
Kamis, 11 Juli 2013
Warga Berpatisipasi, Jembatan Pun Berdiri
Berawal dari musibah banjir bandang pada pertengahan 2007, yang menyebabkan aliran Sungai Sindang Barang meluap. Derasnya air sungai itu mampu merobohkan tiga rumah dan menghancurkan dua jembatan, termasuk jembatan Kampung Duren. Kondisi jembatan Kampung Duren waktu itu ambrol di bagian pilar utama dan lantai, akibat terkena hantaman rumah yang hanyut terbawa arus sungai.
Untuk mengatasinya, masyarakat berupaya bergotong-royong mendongkrak pilar lantai jembatan tersebut dengan tracker, yang diperbantukan dari Dinas PU setempat. Maksudnya adalah agar jembatan kembali ke posisi semula, kemudian melapis ulang lantai jembatan dengan cor beton. Namun, masyarakat menyadari, upaya ini masih mengundang resiko ambruk dan hanya mampu sebagai jalan pintas semata, karena kebutuhan jembatan di Kampung Duren itu memang sangat diperlukan.
Mat Holik, warga Kampung Duren, yang memiliki rumah dekat dengan jembatan dan hampir setiap hari menggunakan jembatan tersebut berpendapat, harus ada upaya untuk membangun jembatan baru. “Dikuatirkan, jembatan itu sewaktu-waktu bisa ambruk lagi. Karena, setiap kali orang melintas di atas jembatan, atau ketika berpapasan dengan kendaraan roda dua, lantai jembatan terasa bergetar cukup keras,” jelas dia. Belum lagi adanya lubang besar sedalam tiga meter—akibat gerusan aliran sungai—di sisi kiri dan kanan tiang penyangga jembatan, semakin menguatkan kekuatiran masyarakat.
Hadirnya PNPM Mandiri Perkotaan di Desa Ciomas dinilai sangat membantu masyarakat, termasuk dalam hal memperbaiki jembatan tersebut. “Lebih penting lagi, masyarakat khususnya warga Kampung Duren RW 06, merasa perlu ikut berpartisipasi dan terlibat, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga pemeliharaan jembatan. Ini merupakan proses pembelajaran yang sangat berharga,” tutur Kades Ciomas H. Djaja Gozali. Menurutnya, dengan dampingan intensif dari Fasilitator Tim-3 Kabupaten Bogor, akhirnya tumbuh kesadaran masyarakat, yaitu kerja keras dan partisipasi ternyata warga bisa membangun sebuah jembatan beton sekelas jembatan tol.
“Jembatan ini merupakan sarana penting sebagai akses penghubung. Tidak hanya antarRW saja, melainkan hampir seluruh warga Desa Ciomas yang menggunakan jembatan ini sebagai akses penunjang aktivitas sehari-hari. Bayangkan saja, tanpa jembatan ini, warga yang mau melintas dari RW 06 menuju jalan besar, harus merogoh kocek lima ribu sampai enam ribu rupiah untuk naik ojek. Dengan dibangunnya jembatan, warga cukup jalan kaki. Kalaupun naik ojek, tarifnya paling mahal hanya dua ribu rupiah saja,” ujar Djaja.
Pada kesempatan berbeda, Koordinator BKM Paguyuban Desa Ciomas E Herdian Sm.Hk. mengatakan, bentuk swadaya warga dalam pembangunan jembatan ini tidak hanya dalam bentuk tenaga kerja. Beberapa warga, termasuk Kades Ciomas, menyumbang 25 unit bronjong, 10 batang besi ulir d-16 (untuk pondasi pilar jembatan), yang jika dinominalkan mencapai Rp 3juta. Bahkan, ada warga yang meminjamkan mesin pompa air selama seminggu yang dipergunakan selama menggali pondasi dan pilar jembatan. Ini karena saat penggalian pondasi tiang pilar jembatan, air tak kunjung surut.
“Selain itu, banyak warga terutama ibu-ibu, bergotong-royong memasak dan menyediakan makan bagi pekerja. Sedangkan pada Sabtu dan Minggu, tak kurang dari seratus lima puluh nasi bungkus sudah disediakan oleh ibu-ibu sebagai bentuk partisipasi dan kepedulian terhadap pembangunan desanya,” tutur Herdian.
Faskel Teknik Tim-3 Dede Tedi menambahkan, pembangunan jembatan ini memang sangat spesifik. Pengerjaannya dilakukan setiap hari oleh sekitar 10 orang pekerja inti dan 15 warga, meski sebagian hanya bisa menyempatkan ikut sepulang kerja atau kegiatan lain. Untuk pengecoran lantai jembatan, sekitar 100 orang bekerja bahu-membahu dan berhasil merampungkannya dalam tempo enam jam, pada Kamis (18/6/2009), dengan bantuan molen dan vibrator.
Meski ada kendala alam, kerja keras masyarakat dan KSM yang tanpa kenal lelah, mulai dari perencanaan proposal hingga proses membongkar jembatan lama dan membangun dengan yang baru, akhirnya warga RW 06 Kampung Duren dapat mewujudkan impiannya. Yaitu, jembatan beton sepanjang 12 meter dan lebar 1,5 meter, yang melintang di atas Sungai Sindang Barang. Tiang penyangga utama jembatan di kedua sisi setinggi 4 meter dari permukaan air dan ditanam 1 meter di bawah permukaan air. Ditambah lantai jembatan yang ditopang pilar penyangga setebal 0.75 meter dan dibuat dengan sistem cor tulangan langsung setebal 0,25 meter. Metode konstruksi pembangunan jembatan ini hampir sama dengan metode konstruksi pembangunan jembatan tol. “Ya, semacam Suramadu mini lah,” ujar Dede, sedikit berkelakar.
Alokasi dana fisik yang terserap untuk pembangunan jembatan ini mencapai total Rp 75juta, terdiri atas Rp 30juta dari BLM PNPM dan Rp 45juta swadaya masyarakat. Ini membuktikan tingginya tingkat partisipasi masyarakat untuk menyelesaikan pembangunan jembatan, termasuk upaya kerasa mereka menggalang dana dan channeling dengan pihak ketiga.
Berkat keberhasilan dalam pembangunan jembatan dan upaya menggalang swadaya masyarakat, perwakilan KSM Kampung Duren pernah diminta oleh KMP sebagai narasumber dalam acara talkshow di Acara Pelatihan Nasional OC (Oversight Consultant) KMW se-Indonesia di Bekasi, pada 30 Juli 2009. Tak hanya itu, KSM juga sempat beberapa kali diliput oleh media, seperti Megaswara TV dan koran Radar Bogor, serta diikutkan dalam lomba desa sampai tingkat kabupaten. (Tim-3 Kabupaten Bogor, KMW Provinsi Jawa Barat, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)
http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=2720&catid=3&
Senin, 08 Juli 2013
Rawa Panjang, Sentra Pengrajin Anyaman Bambu
Sebagian besar warga RW 14 Desa Rawa Panjang berprofesi sebagai pengrajin anyaman. Terhitung 11 KSM ekonomi telah terbentuk, masing-masing KSM terdiri atas tiga anggota. “Saat ini kami baru menyadari betul tentang manfaat kelompok. Selama puluhan tahun menjalani profesi, kami berjalan sendiri-sendiri, akibatnya biaya untuk bahan baku menjadi lebih mahal dan kualitas produk kami juga masih lemah. Oleh karena itu, ke depannya kami harapkan adanya bimbingan pelatihan, akses ke berbagai pihak, serta pemasaran yang jauh lebih penting,” jelas Ketua RT 002 Muhasan, diamini Ketua RT 001 Tuin. Kedua ketua RT ini sama-sama pengrajin.
Muhasan mengatakan, permodalan juga sangat diharapkan oleh semua pengrajin. “Dengan penambahan modal, kami bisa menyimpan bahan yang cukup, sehingga tidak dipermainkan penjual rotan. Di samping itu kami pun berharap dapat memilki tempat untuk menjual dan memasarkan. Selama ini para pembeli produk anyaman datang sendiri ke tempat kami. Akibatnya kami tidak mampu memasang harga yang menguntungkan, malah mereka yang mengendalikan harga,” urai dia.
Begitu pula yang disampaikan pengrajin lainnya, warga RT 002 Usman (29). Ia mengatakan, kegiatan membuat anyaman dimulai sejak tahun 1986. “Keahlian saya adalah warisan dari orang tua. Hal serupa terjadi pada tetangga lainnya, yaitu keahlian turun-temurun. Saya juga sangat merasakan adanya selisih harga jika kita membeli bahan secara sendiri-sendiri, yang terbatas sesuai dengan kemampuan kami. Ini membuat kami tidak bisa memiliki stok bahan cukup, terutama rotan yang paling murah saja masih berharga Rp17.000 per kilogram,” ujar dia.
Hal senada dikatakan Sabenih (44), pengrajin dari RT 001/RW 14. Untuk membuat vas bunga diperlukan bahan-bahan berupa, rotan, tambang dari rumput, pelepah pisang, alang-alang, dan kulit kayu kering. “Kecuali rotan, semua bahan dapat diperoleh dengan mudah di sekitar wilayah kami. Produk yang kami hasilkan berupa vas bunga, rangka stik merk, keranjang parsel, dan lain-lain. Biasanya order pesanan datang dari toko-toko kembang dan pedagang bunga plastik,” katanya.
Dengan dibangunnya Jembatan Anggrek di Desa Rawa Panjang, para pengrajin anyaman ini mengaku sangat terbantu. “Sebelum diperbaiki dan diganti baru, jembatan ini amat menyulitkan kami, pengrajin, bahkan warga lainnya. Kondisi dasar jembatan dari balok yang sudah rapuh dan berlubang-lubang bisa membahayakan keselamatan, terutama bagi anak-anak,” cetus para pengrajin. Namun, sejak jembatan kokoh berangka baja ini berdiri, pengangkutan produk bisa lebih mudah bagi pengrajin. “Karena, sekarang kendaraan mobil bisa masuk ke dalam. Kami tidak lagi menguatirkan anak-anak akan celaka saat melintasi jembatan,” tutur Muhasan.
Manfaat lain jembatan tersebut juga dirasakan warga, terkait keberadaan Taman Pemakaman Umum (TPU) yang dimanfaatkan juga oleh warga wilayah lain. “Sekarang, tidak ada lagi kesulitan mengangkut jenazah menyeberangi jembatan,” tegas Tuin.
Dalam kegiatan peresmian jembatan, pada Minggu (14/6/2009) ternyata kaum ibu setempat ikutan sibuk, karena mereka lah yang bertanggungjawab menyediakan konsumsi makan siang. Meski sibuk, para ibu mengaku bersyukur dan gembira. Hal tersebut tampak jelas di raut wajah mereka.
“Alhamdulillah, akhirnya jembatan yang kami impikan dapat terwujud, berkat PNPM. Plong rasanya hati kami, tidak kuatir lagi atas keselamatan anak-anak dan juga orang tua yang berlalu-lalang di atas jembatan,” tutur salah seorang ibu warga RT 001 bernama Suryati. Hal tersebut dibenarkan Zaenab, Cumah dan Nawiyah, ibu-ibu lainnya. Menurut mereka, banyak warga menghindari jembatan ini. “Takut ambruk dan tercebur. Jadi, ya, terpaksa lewat jalan memutar yang cukup jauh,” tutur mereka.
Sementara itu, hidangan sayur asam, ikan goreng, peyek ikan dan peyek kacang, lalapan, serta sambal terasi yang disiapkan para ibu, ternyata ludes sekejap, dan diakui sebagai hidangan ternikmat yang pernah disantap oleh sekitar 100 warga. “Semua ini adalah hasil kerja kaum ibu dari dua RT, dengan dikoordinir ibu ketua RT uang konsumsi yang terkumpul sebanyak Rp 500.000. Kami puas bila makanan yang disajikan tidak tersisa, itu kan berarti masakan kami enak,” cetus Suryati sambil tertawa. (heroe k., PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)
Langganan:
Postingan (Atom)