Kamis, 25 Juli 2013

Sampah, Recehan yang Berserakan dan Terabaikan



Persoalan limbah hingga kini menjadi problem yang tiada henti dibicarakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk di sembilan desa sasaran PNPM Mandiri Perkotaan dampingan Faskel Tim 11 Kabupaten Bogor. Betapa tidak, pada PJM Pronangkis sembilan desa se-Kecamatan Bojong Gede, penanggulangan sampah menjadi salah satu prioritas programnya. Mereka semua sepakat menjadikan  sampah sebagai komoditi yang bisa bermanfaat dan memiliki nilai tambah bagi masyarakat.
Seperti yang baru-baru ini dilakukan BKM Paguyuban Warga Desa (PWD) Pabuaran, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.  BKM setempat menggandeng  Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Bogor, melaksanakan Pelatihan Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat, pada Minggu (11/4/2010).

Menurut Koordinator BKM PWD Pabuaran Uche Ismail, pelatihan yang menghabiskan dana sekitar Rp2,5 juta itu berasal dari dana PNPM sebesar Rp 1,5 juta, ditambah swadaya sekitar Rp1 juta.
Uche mengatakan, sudah lama masyarakat Pabuaran merasakan limbah sampah sebagai masalah. “Setiap hari ada saja tumpukan sampah. Hal itu menimbulkan bau dan penyakit. Kami menyadari bahwa ternyata sampah bisa tidak menjadi ancaman, bahkan bisa memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu, akhirnya muncul keinginan dan kebutuhan bersama untuk mengolah sampah dengan mengadakan pelatihan ini. Ke depannya, diharapkan masyarakat desa Pabuaran mampu mengatasi limbah sampah,” tegasnya.

Kegiatan tersebut mampu menyerap kehadiran peserta mencapai 100 orang. Mereka terdiri atas berbagai lapisan masyarakat, serta anggota BKM dan KSM. Sebagai tenaga pelatih adalah Fasilitator DKP Kabupaten Bogor, di bawah koordinasi Mamad Suhaeri, yang juga Kepala Seksi Kebersihan DKP.
Pada kesempatan itu Mamad mengatakan, jumlah penduduk kabupaten Bogor saat ini sekitar 4 juta jiwa. “Setiap harinya, aktivitas masyarakat menghasilkan limbah sampah sebanyak 8.000 meter kubik, yang dilayani oleh 66 truk sampah. Sementara itu, dari hasil survey, sebanyak 50% limbah sampah berasal dari rumah tangga, sedangkan sisanya, rata-rata 15%-nya berasal dari pasar, jalanan, industri, pekantoran, sungai dan lain sebagainya,” kata Mamad.

Dengan adanya kegiatan yang disponsori BKM ini, lanjut Mamad, pihaknya amat merasa terbantu dalam penanggulangan limbah sampah di wilayahnya. “Ke depannya diharapkan, volume sampah yang akan dikirim ke TPA berkurang, setelah sampah rumah tangga diolah sendiri guna dijadikan pupuk dan kerajinan tangan. Peran masyarakat bersama-sama pemda dalam upaya penanggulangan sampah ini sangat kami hargai,” ujar Mamad.

Pada materi “Sampah dan Permasalahannya”, Koordinator Fasilitator DKP Edi Mawardi menyatakan kekagumannya atas inisiatif masyarakat Pabuaran melaksanakan pelatihan. “Kita harus mengubah pola pikir yang selama ini salah, yakni menjadikan sampah sebagai lawan. Jadikan sampah sebagai kawan! Karena, sebenarnya sampah adalah tumpukan recehan rupiah! Sampah organik bisa dijadikan pupuk, sedangkan sampah anorganik, bisa dijadikan bahan kerajinan tangan dan memilki nilai ekonomi yang cukup tinggi,” tegas dia.
Menurut Edi, pada pelatihan ini, Pihak DKP menurunkan lima orang tenaga fasilitator sebagai instruktur. “Mereka adalah tenaga muda yang memiliki potensi dan komitmen tinggi. Setiap saat mereka siap mendampingi masyarakat kabupaten Bogor, sesuai program dari DKP,” tambah Edi. Bagian akhir Pelatihan Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat ini adalah penanganan sampah dengan pola 3R—Reduce, Reuse dan Recycle. Dilakukan pula praktek bersama tentang cara pengolahan limbah organik, pengenalan peralatan pembuatan kompos, serta pengolahan limbah sampah anorganik menjadi kerajinan tangan. Acara ini dipandu oleh Fasilitator DKP antara lain Evi, Ajeng, Erni, dan Fauzi.

Setelah acara penutupan, salah seorang anggota BKM setempat Kamsi mengatakan, status BKM PWD Pabuaran adalah BKM Lanjutan 2009. “Desa kami menjadi sasaran P2KP sejak tahun 2003, dengan pagu BLM sebesar Rp350 juta. Alokasi dana bergulirnya sebesar Rp154 juta dan terjadi kemacetan pengembalian dari KSM. Hasil evaluasi kami, hal tersebut akibat dari kencangnya isu bahwa BLM adalah hibah, tidak diperbolehkannya jaminan peminjam, serta sanksi yang tidak kuat,” katanya.

Sulitnya mendapatkan data KSM ekonomi dari BKM lama, lanjut Kamsi, menyebabkan terhambatnya proses pengembalian pinjaman. “Kini kami berkomitmen untuk memproses masalah kemacetan dana bergulir yang lalu. BKM akan melibatkan seluruh komponen desa dalam menanganinya. Diketahui, dari klarifikasi sebelumnya ada beberapa klasifikasi penunggak, yaitu akibat usaha KSM yang macet, isu hibah, ketidakmampuan bayar, hingga mereka yang sengaja mencoba mengemplang,” ujar Kamsi. Menurutnya, hasil Review Kelembagaan pada tahun 2008, dua anggota BKM lama ikut terpilih dan duduk pada komposisi saat ini, sementara anggota lainnya adalah orang-orang baru.

Pada kesempatan itu, Kamsi juga menyampaikan perbandingan pengelolaan pinjaman bergulir dana Reksa Desa yang berasal dari Pemprov Jawa Barat dan dikelola oleh aparat desa. “Pada tahun 2006, kami mendapatkan dana sebesar Rp100 juta. Sekitar 40%-nya digunakan untuk kegiatan infrastruktur, sedangkan 60%-nya untuk kegiatan ekonomi berupa dana bergulir, dengan bunga 1,5%,” kata Kamsi.

Perguliran dana tersebut masih berjalan hingga saat ini, ujar dia. “Jumlah pemanfaat sampai dengan saat ini adalah 168 orang. Awalnya (2006), hanya 89 orang. Setiap bulannya, rata-rata pinjaman yang kami berikan adalah sebanyak Rp3 juta, dengan masing-masing peminjam maksimal Rp 1 juta. Pihak kami melibatkan RT/RW. Mereka mendapatkan fee, sehingga memiliki peran dan tanggung jawab besar bila terjadi kemacetan. Alhamdulillah dengan cara seperti ini dana bergulir Reksa Desa masih bisa bertahan, meski masih terjadi kemacetan sekitar 30%,” jelas Kamsi. (heroe k., PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)

http://p2kp.org/wartadetil.asp?mid=2938&catid=3&

Tidak ada komentar:

Posting Komentar