Pemuda
terjerat narkoba, sudah tidak aneh. Pemuda melakukan kenakalan, pun sudah
lumrah. Bagaimana dengan pemuda pengusung pembangunan? Ini baru luar biasa!
Ya, pemuda.
Suatu golongan di masyarakat yang umumnya terkategori kelas vulneral. Kenapa
bisa begitu? Jika dilihat dari rentang usia yang berkisar 16-25 tahun, golongan
ini memiliki tingkat kelabilan yang signifikan. Mudah terpengaruh informasi
asing, dan juga kurang bisa mengontrol emosi. Kedua hal inilah yang menjadikan
pemuda rapuh, dalam artian tidak memiliki pendirian yang tegas dalam bersikap.
Hal ini merupakan suatu hal yang lumrah, karena memang, dalam segmentasi usia
demikian, pengalaman hidup yang dimiliki tidak terlalu banyak.
Pemuda pada
umumnya dijadikan sebagai objek pembangunan, berbagai program pemerintah dan
non-pemerintah digulirkan untuk memberdayakan pemuda. Mulai dari pemberian
motivasi, pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotik, sampai pemupukan jiwa
kewirausahaan. Semua program tersebut ditujukan untuk memerkuat kualitas suatu
generasi pemuda. Karena, mengutip perkataan bijak, “Pemuda di hari ini,
pemimpin di hari esok.”
Salah satu
figur pemuda yang cukup dibanggakan prestasinya adalah Yusuf Salim. Ia adalah
seorang pemuda sederhana asal Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten
Bogor. Seperti pemuda pada umumnya, ia memiliki semangat dan energi yang cukup
besar. Tapi jika mengenalnya lebih dekat, akan dirasakan adanya perbedaan
dibandingkan dengan pemuda lain. Fokus perhatiannya tidak pada musik, lawan
jenis, ataupun hanya permainan belaka, justru pada permasalahan kemiskinan di
desanya. Cukup istimewa!
Ia memiliki
kesadaran yang kritis, bahwa kehidupan masyarakat miskin di desanya sangatlah
rentan. Jika tidak ditangani secara serius maka nasib warga miskin sudah bisa
ditebak: berujung pada ketidakpastian. Desa Pancawati sendiri merupakan suatu
desa yang berada di Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk sebesar 13.468 jiwa,
dimana 6.125 di antaranya adalah warga miskin, dengan mata pencaharian utama
sebagai buruh kasar.
Sudah banyak
program bantuan pemerintah yang digulirkan di desa ini. Salah satunya adalah
PNPM Mandiri Perkotaan. PNPM sebagai suatu program penanggulangan kemiskinan
berbasis komunitas bertumpu pada nilai-nilai kearifan lokal dari para
pelakunya. Diperlukan pemikiran, waktu, dan tenaga yang besar untuk menjalankan
program ini. Jika ditangani oleh orang-orang yang tidak serius, dapat
dipastikan program ini tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan.
Hal ini
terbukti di Desa Pancawati. Pelaksanaan salah satu kegiatan tridaya PNPM,
kegiatan ekonomi bergulir di desa ini tidak berjalan dengan optimal. Jika
dilihat dari tingkat pengembalian, hanya mencapai 52% saja. Artinya, masyarakat
yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) peminjam, setengahnya
tidak mengembalikan pinjaman.
Kenyataan
tersebut tentu saja sangat mengkhawatirkan, karena bagaimanapun juga kegiatan
ekonomi bergulir adalah salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan taraf
penghasilan masyarakat miskin secara nyata. Sungguh sangat disayangkan bila
disia-siakan begitu saja. Kegagalan pelaksanaan kegiatan ini dapat menyebabkan
tingkat pertumbuhan perekonomian warga miskin terhambat, bahkan mungkin bisa
lumpuh.
Tidak ingin
berpangku tangan atas permasalahan yang ada, maka Yusuf Salim selaku warga yang
peduli akan masyarakatnya, berinisiatif untuk melibatkan diri dalam pelaksanaan
kegiatan ekonomi bergulir. Motivasinya hanya satu, yaitu ingin memajukan
perekonomian masyarakat desa pancawati dengan sistem yang sehat. Secara teknis,
dia melamar ke Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Tunas Harapan untuk dapat
diberikan kesempatan bergabung dalam kepengurusan Unit Pengelola Keuangan.
Melihat
kesungguhannya dalam membangun desa, pada 1 Desember 2011, Yusuf secara resmi
diangkat BKM sebagai manajer Unit Pengelola Keuangan (UPK). Namun, sebuah beban
besar menanti di hadapannya. Bagaimana seorang manajer UPK menyikapi kemacetan
perguliran sebesar 48%? Ini bukanlah persoalan mudah. Bukan persoalan
membalikkan angka dan huruf, melainkan bagaimana mengubah paradigma masyarakat,
sekaligus memberdayakan mereka.
Cibiran dan
ledekan, tentu saja terdengar dari mana-mana. Namun itu semua tak
diindahkannya. Semua dianggap sebagai cambuk agar lebih giat lagi dalam
menjalankan tugas baru. Berbekal niat kuat untuk berbakti pada masyarakat,
sedikit demi sedikit dia mulai memperbaiki kekacauan yang ada. Dengan dampingan
intensif dari Tim Fasilitator VIII Kabupaten Bogor, Yusuf mulai mengurai benang
kusut.
Dimulai
dengan melakukan survei ke tingkat KSM. Apa yang sebenarnya menjadi hambatan
mereka untuk membayar cicilan. Banyak hal yang ditemukan, ternyata.
Permasalahan tidak hanya dari pengelolaan perguliran yang kurang konsisten dari
pengurus terdahulu, tapi juga adanya miskonsepsi dari masyarakat tentang status
pinjaman modal bergulir. Permasalahan semakin bertambah rumit dengan maraknya
praktik lintah darat di lingkup masyarakat sendiri, sehingga mereka mengalami
kesulitan untuk memilah-milah prioritas utama pembayaran.
Namun itu
semua tidak menjadikan Yusuf patah arang. Ia bersama rekannya, sesama UPK,
yakni ibu Tuti—seorang ibu rumah tangga, senantiasa mencoba mencairkan kembali
dana yang terlanjur beku. Segala upaya dilakukan, mulai dari pendekatan
persuasif kepada kelompok, maupun pendekatan personal pada masing-masing
anggota. Penolakan, pengucilan, bahkan ancaman merupakan “insentif harian” yang
harus mereka terima bulat-bulat. Tidak sedikit masyarakat yang menolak membayar
dengan berbagai dalih. Namun, tak sedikit pula masyarakat yang mulai tergerak
hatinya untuk melunasi utang mereka.
Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, hingga akhirnya bulan berganti tahun.
Perjalanan yang panjang dan berat dalam rangka membantu mereka yang
membutuhkan, akhirnya membuahkan hasil nyata. Perlahan tapi pasti, benang kusut
mulai terurai. Masyarakat sedikit demi sedikit berubah paradigmanya. Mereka
sadar bahwa tak ada yang bisa menolong mereka kecuali mereka sendiri. Maka
dengan sedikit memaksakan diri sesuai kemampuan, mereka mulai melunasi utang.
Setelah lunas, merekapun mengajukan pinjaman berikutnya dalam rangka
meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi usaha.
Alhamdulillah,
pada Januari 2013, tingkat pengembalian pinjaman mencapai 100%. Benar sekali.
Tak ada tunggakan sepeser pun! Ini merupakan salah satu takaran keberhasilan
yang dapat dilihat secara kasat mata. Benar-benar nyata.
Dia yang
sebelumnya diremehkan, kini benar-benar berarti. Prestasinya dihargai, kerja
kerasnya berbuah manis. Tak ada lagi yang menyangsikan kesungguhan Yusuf dalam
bekerja. Dan, kini, pemuda yang asalnya biasa-biasa saja, menjelma menjadi
seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani dan berpengaruh. From zero to
hero.
Satu
motivasi yang ia yakini dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang Manajer UPK
adalah: “Sukses itu sulit. Tapi lebih sulit jika tidak sukses.”